Rabu, 31 Juli 2019

Acara NU Awards MWC Turen 2019




PAGEDANGAN - Menjelang HSN (Hari Santri Nasional) MWC NU Turen mengadakan acara NU Awards di tahun 2019 yang diikuti oleh masing-masing ranting NU dan masing-masing JPZIS se-Kec. Turen tutur "Kyai Syafaat Muhammad"

Ust. Hisyam Kholili, Direktur Lazisnu Turen menjelaskan ada beberapa kriteria penilaian dalam NU Awards 2019 MWC Turen, diantaranya adalah kriteria untuk kategori lembaga LAZISNU tingkat JPZIS. Pada kategori ini beliau meyebut  ada 4 kriteria, yaitu Administrasi Bidang Tashoruf, administrasi tashoruf dan yang terakhir bidang kotak koin. ustd Hisyam menjelaskan yang menjadi penilaian utama pada awards ini adalah ke-administrasian. Hal ini bertujuan untuk mendorong ketertiban administrasi pada masing-masing lembaga dan Banom.

Sekretaris LAPESDAM menjelaskan bahwa sebelum  puncak NU Awords; dilaksanakan berbagai lomba-lomba diantaranya adalah liga santri (sepak bola api), jurnalis, desaign grafis, video grafis dan acara penyemarak seperti bazar kader, gerak jalan, dan apel kader.


Berikut kami tampilkan foto saat rapat sosialisasi pembahasan kriteria penilaian NU Awards 2019 MWC Turen.



Written : #baseman, #hakam
Photografer :#Hisam Kholili

Selasa, 30 Juli 2019

NU CARE_Tasaruf Kematian bapak SAMIT

Sabtu, 27 Juli 2019
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…..

PAGEDANGAN - Sekitar pukul 03:00 dini hari bapak Samit dukuh Supiturang Rt.24/08 desa Pagedangan Kec. Turen Kab. Malang telah kembali ke Rahmatulloh pada hari Sabtu tanggal 27 Juli 2019 dalam usia 80 th dan di makamkan di makam muslim Jl. Kramat II dusun Krajan desa Pagedangan.

Jenazah dimandikan, dan dikafani di rumah bapak Qosim (anak dari salah satu almarhum) dilanjutkan dengan proses menyolati jenazah yang dilakukan di rumah duka dengan imam sholat jenazah bpk. Luthfi Zakaria selaku Mudin desa Pagedangan.

Disaat ta'ziin masih sedikit yang datang untuk ta'ziah. Bersamaan dengan itulah dilakukan tasarufan hasil dari kotak KOIN NU berupa 1 (satu) paket yang terdiri dari air mineral, gula, & minyak goreng yang senilai Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) oleh NU ranting Pagedangan kepada ibu Musarifah (anak almarhum)

"Semoga almarhum diterima disisi-NYA, diterima semua amal baiknya dan diampuni segala dosa-dosanya dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi keasabaran, ketabahan, & kekompakan.


NU CARE_Tasaruf Kematian Mas MUCHAMMAD SUKRON

Senin, 29 Juli 2019
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…..

PAGEDANGAN - Sekitar pukul 04:00 dini hari Mas MUCHAMMAD SUKRON Jl. Tirto Rt.02/05 desa Pagedangan Kec. Turen Kab. Malang telah kembali ke Rahmatulloh pada hari Senin tanggal 29 Juli 2019 dalam usia 57 th dan di makamkan di makam muslim Jl. Kramat II dusun Krajan desa Pagedangan.

Jenazah dimandikan, dan dikafani di rumah almarhum dengan proses menyolati jenazah yang dilakukan di rumah duka dengan imam sholat jenazah bpk. Luthfi Zakaria selaku Mudin desa Pagedangan.

Disaat ta'ziin masih sedikit yang datang untuk ta'ziah. Bersamaan dengan itulah dilakukan tasarufan hasil dari kotak KOIN NU berupa 1 (satu) paket yang terdiri dari air mineral, gula, & minyak goreng yang senilai Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) oleh NU ranting Pagedangan kepada bapak Imam (kakak almarhum)

"Semoga almarhum diterima disisi-NYA, diterima semua amal baiknya dan diampuni segala dosa-dosanya dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi keasabaran, ketabahan, & kekompakan.

Jumat, 26 Juli 2019

NU CARE_Tasaruf Kematian Mbok DJUMIRAH


Kamis, 25 Juli 2019
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…..

PAGEDANGAN - Sekitar pukul 03:00 dini hari mbok Djumirah Jl. Suko Rt.06/05 desa Pagedangan Kec. Turen Kab. Malang telah kembali ke Rahmatulloh pada hari Kamis tanggal 25 Juli 2019 dalam usia 86 th dan di makamkan di makam muslim Jl. Kramat II dusun Krajan desa Pagedangan.

Jenazah dimandikan, dan dikafani di rumah ibu Mujiyem(anak perempuan dari salah satu almarhum) dilanjutkan dengan proses menyolati jenazah yang dilakukan di rumah duka dengan imam sholat jenazah bpk. Luthfi Zakaria selaku Mudin desa Pagedangan.

Disaat ta'ziin masih sedikit yang datang untuk ta'ziah. Bersamaan dengan itulah dilakukan tasarufan hasil dari kotak KOIN NU berupa 1 (satu) paket yang terdiri dari air mineral, gula, & minyak goreng yang senilai Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) oleh NU ranting Pagedangan kepada ibu Musarifah (anak almarhum)

"Semoga almarhum diterima disisi-NYA, diterima semua amal baiknya dan diampuni segala dosa-dosanya dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi keasabaran, ketabahan, & kekompakan.

NU CARE_Tasaruf Kematian NGATENI


Minggu, 21 Juli 2019
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…..

PAGEDANGAN - Sekitar pukul 19:00 mbok NGATENI dusun Supiturang Rt. 24/08 desa Pagedangan Kec. Turen Kab. Malang telah kembali ke Rahmatulloh pada hari Minggu tanggal 21 Juli 2019 diusia 68 th dan di makamkan di makam muslim Jl. Kramat II Pagedangan.

Jenazah dimandikan, dan dikafani di rumah salah satu anak almarhum dan dilanjutkan dengan proses menyolati jenazah dengan imam sholat jenazah bpk. Luthfi Zakaria selaku Mudin desa Pagedangan.

Disaat para ta'ziah banyak yang berdatangan untuk ta'ziah. Bersamaan dengan itulah dilakukan tasarufan hasil dari kotak KOIN NU berupa 1 (satu) paket yang terdiri dari air mineral, gula, & minyak goreng yang senilai Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) oleh NU ranting Pagedangan kepada ibu Musarifah (anak almarhum)

"Semoga almarhum diterima disisi-NYA, diterima semua amal baiknya dan diampuni segala dosa-dosanya dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi keasabaran, ketabahan, & kekompakan.

NU CARE_Tasaruf Kematian bapak TUKIMUN


Senin, 15 Juli 2019
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…..

PAGEDANGAN - Sekitar pukul 21:00 bapak TUKIMUN Jl. Sari Rt.19/07 desa Pagedangan Kec. Turen Kab. Malang telah kembali ke Rahmatulloh pada hari Senin tanggal 15 Juli 2019 diusia 73 th dan di makamkan di makam muslim Jl. Kramat II Pagedangan.

Jenazah dimandikan, dan dikafani di rumah salah satu anak almarhum dan dilanjutkan dengan proses menyolati jenazah dengan imam sholat jenazah bpk. Luthfi Zakaria selaku Mudin desa Pagedangan.

Kali ini pentasarufan dilakukan pada hari ke-3 setelah kematian, berupa 1 (satu) paket yang terdiri dari air mineral, gula, & minyak goreng yang senilai Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) oleh NU ranting Pagedangan kepada ibu Musarifah (anak almarhum)

"Semoga almarhum diterima disisi-NYA, diterima semua amal baiknya dan diampuni segala dosa-dosanya dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi keasabaran, ketabahan, & kekompakan.

Kamis, 25 Juli 2019

Wahabi dan Asal Muasalnya



Wahabiyyah atau Wahabisme itu dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Najdi, lahir tahun 1111 H, mati tahun 1206 H. Muhammad bin Abdul Wahhab ini belajar sedikit tentang agama, tapi sangat gandrung kepada kabar-kabar orang-orang yang mengaku sebagai nabi seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajjaj al-Aswad, dan Thulaihah al-Asadi. Maka di hari-hari pembelajarannya itu telah terlihat kelakuan menyimpang, dimana bapaknya sendiri mengingatkan kelakuannya itu, tak ketinggalan teman-teman dan banyak orang lainnya (al-Amily, Kasyful Irtiyab).

Grand Mufti Kerajaan Saudi Arabia yang fatwanya menjadi salah satu rujukan utama Ustadz Salafi Wahabi di Indonesia, Syaikh bin Baz berkata:

الوهابية منسوبة إلى السيخ الإمام محمد بن عبدالوهاب رحمه اللّٰه المتوفى سنة ١٢٠٦ هـ ، وهو الذي قام بالدعوة إلى اللّٰه سبحانه في نجد

“Al-Wahhabiyah adalah penisbatan kepada Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1206 H), Beliau adalah orang yang berupaya mengajak kepada jalan Allah Ta’ala di Najd.”
(Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 9 hlm. 230)

ﺃﻥ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻴﻦ ﻭﻫﻢ ﺃﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ اﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺭﺣﻤﻪ اللّٰه ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻧﺎﺻﺮﻭﺍ ﺩﻋﻮﺗﻪ ﻭﺳﺎﺭﻭﺍ ﻋﻠﻴﻬﺎ

"Bahwa golongan Wahhabi adalah mereka pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Yaitu golongan orang yang memperjuangkan dakwahnya dan berjalan di atasnya."
(Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 9 hlm. 232)

Pada tahun 1143, Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengumumkan madzhab barunya. Kelakuannya ini ditentang oleh orang-tua dan guru-gurunya. Mereka menyalahkan semua qaul-qaul Muhammad bin Abdul Wahhab, hingga sampai meninggal orang-tuanya tahun 1153. Dan tidaklah mengikuti madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab ini kecuali orang-orang rendah berkelakuan buruk, hingga masyarakat ingin sekali membunuh Muhammad bin Abdul Wahhab ini. Muhammad bin Abdul Wahhab lalu melarikan diri ke kota terpencil bernama Uyainah. Di Uyainah mendapatkan perlakuan yang sama dari para penduduk, lalu bin Abdul Wahhab pindah ke Dar’iyyah, sebelah timur-nya Riyadh. Kota Dar’iyyah ini adalah tempatnya Musailamah al-Kadzdzab dahulu. Wilayah ini dihuni oleh pendiri dinasti Saud yang saat ini berkuasa di Saudi Arabia, yaitu Muhammad Ibn Saud (w. 1179 H/1766 M). Di tempat Musailamah al-Kadzdzab inilah penyimpangan Islam ala Ibn Abdil Wahhab ini diterima dan diikuti oleh pemimpinnya, Muhamamd bin Sa’ud. Di daerah inilah Muhammad bin Abdul Wahhab ditetapkan menjadi Mujtahid Muthlaq. Anda bisa bayangkan, kedudukan mujtahid muthlaq ditetapkan oleh seorang penguasa. Hehehe.

Seperti halnya bapaknya, saudaranya Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, yaitu Sulaiman bin Abdil Wahhab, menyayangkan kekacauan yang ditimbulkan oleh saudaranya itu. Dia menulis kitab yang berjudul al-Shawaiq al-Ilahiyyah Fi al-Radd ‘Ala al-Wahabiyyah. Dalam kitabnya itu pada hal. 4 dia menulis:

اليوم ابتلى الناس بمن ينتسب الى الكتاب والسنة ويستنبط من علومهما ولا يبالي من خالفه واذا طلبت منه ان يعرض كلامه على اهل العلم لم يفعل بل يوجب على الناس الاخذ بقوله ويمفهومه ومن خالفه فهو عنده كافر هذا وهو لم يكن فيه خصلة واحدة من خصال اهل الاجتهاد ولا والله عشر واحدة ومع هذا فراج كلامه على كثير من الجهال فانا لله وانا اليه راجعون

“Hari ini manusia telah diuji dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada al-Quran dan Sunnah, dan beristimbath dengan ilmunya. Dia menuduh, siapa saja yang mengingkarinya, maka dia telah kafir. Padahal, dia tidak memiliki bagian sedikit pun sehingga dia bisa dikatakan sebagai mujtahid. Demi Allah, tidak ada ilmu baginya untuk dikatakan sebagai mujtahid, tidak sepuluh tidak juga satu. Dengan keadaannya ini, perkataannya diterima oleh orang-orang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun.”

Pokok Pikiran Wahabi

Firqah wahabi ini memiliki pokok pikiran yang dinyatakan terang-terangan dan yang disembunyikan.  Pokok pikiran yang dinyatakan adalah pemurnian tauhid kepada Allah SWT, memerangi kemusyrikan dan berhala-berhala. Tapi, pokok pemikiran ini bukanlah yang sebenarnya.  Ada yang disembunyikan dari pokok ini, yaitu memecahbelah kaum muslimin dan menimbulkan fitnah dan perang diantara mereka, serta mengabdi kepada para kolonialis Barat. Inilah pokok perjuangan Wahabiyyah dari saat berdirinya hingga sekarang. Pokok tersembunyi ini ditutupi oleh pokok pikiran yang baik, sehingga bagi orang awam, Wahabiyyah adalah kebaikan.

Dengan judul memurnikan tauhid dan memerangi kemusyrikan, syiar ini akan menarik para pengikutnya dengan penuh semangat untuk memperjuangkannya. Padahal mereka sedang dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan yang tersembunyi. Lihat saja ulasan Khairi Hammad dalam A’midah al-Isti’mar, juga Tarikh Najd oleh Syaikh Abdullah Philby, juga kitab al-Wahabiyyah Naqd wa Tahlil oleh Dr. Humayun Hamti, juga buku Kudeta Mekkah oleh Yaroslav Trofimov.

Wahabiyyah membagi akidahnya menjadi dua bagian: Pertama, jika ada dalam nash, maka mereka mengklaim bahwa mereka bisa langsung mengambilnya dari kitab dan sunnah tanpa perantara siapa pun, baik Sahabat, mujtahid, atau siapa pun.

Kedua, jika tidak ada dalam nash, maka mereka mengklaim akan merujuk kepada fiqih-nya Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah. Padahal, pada saat yang sama, mereka mengingkari dua hal secara bersama-sama.

Pertama, mereka berpendirian dapat mengambil hukum dari nash-nash al-Quran langsung, sehingga dengan demikian mereka meneyelisihi Ushul dan Ijma’. Pada posisi ini, Syaikh Muhammad Abduh mengomentari: Mereka berpandangan bahwa mereka wajib mengambil langsung dari nash al-Quran sesuai pemahaman mereka, tanpa merujuk kepada ushuluddin (Muhammad Abduh, al-Islam wa al-Nashraniyyah).

Kedua, mereka menyelisihi Imam Ahmad dalam hal mengafirkan siapa pun yang berbeda dengan mereka. Padahal tidak akan Anda dapatkan dalam fatwa-fatwa Imam Ahmad mengafirkan sesama muslim ini. Sebaliknya, fatwa-fatwa dan ajaran Imam Ahmad bertentangan dengan apa yang Wahabiyyah klaim. Imam Ahmad melarang mengafirkan ahlul qiblah bahkan karena dosa besar, kecuali meninggalkan shalat. Sedangkan dalam pandangan Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa siapa saja yang bermesraan hanya dengan yang setuju dengannya, memusuhi yang berbeda dengannya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, mengafirkan dan menfasikkan orang yang berbeda dengannya dalam masalh pendapat dan ijtihad, lalu menghalalkan darah mereka, maka mereka adalah bagian dari ahlu tafarruq dan ikhtilaf, maksudnya masuk dalam firqah yang masuk neraka menurut hadis 73 firqah. Maka, menurut Ibnu Taimiyyah sekalipun, Wahabiyyah adalah firqah yang sesat.

Wahabiyyah dalam hal ziarah kubur secara tidak langsung telah mengafirkan Imam Ahmad sendiri, bahwa Imam Ahmad adalah bagian dari kaum musyrikin. Karena kaum Wahabiyyah memusyrikkan orang-orang yang berziarah kubur, apalagi bertawassul kepada orang mati. Padahal, Ibnu Taimiyyah sendiri menulis bahwa Imam Ahmad dan orang-orang pada zamannya berbondong-bondong menziarah Masyhad Imam Husain di Karbala (lihat Ra’sal Husain oleh Ibnu Taimiyyah, dan Isytisyhad al-Husain oleh al-Thabari). Dengan demikian, Imam Ahmad dan orang-orang yang hidup pada zaman itu musyrik semua menurut Wahabiyyah. Sementara mereka mengaku merujuk kepada Imam Ahmad. Betapa bodohnya orang-orang yang gampang dibodohi oleh Wahabiyyah ini.

Wahabiyyah juga memusyrikkan orang-orang yang mencari syafaat kepada Nabi SAW setelah wafat beliau (lihat That-hiru al-I’tiqad oleh al-Shan’ani). Padahal para sahabat dan tabi’in (kaum salaf yang diklaim sebagai manhaj mereka), seperti yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, al-Thabrani, Ibnu Abiddunya, dan Ahmad bin Hanbal, justru melakukannya. Ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitan al-Ziarah juz 7. Jadi, menurut Wahabi, kaum salafussalih yang menjadi manhaj mereka pun musyrik semua.

Dari tulisan singkat ini, maka Anda telah mengetahui betapa naifnya orang-orang Wahabi dengan Wahabiyyah-nya. Mereka pinter melakukan apa yang dinyatakan oleh Imam Ali sebagai “kalimatu haqqin uriida bihaa baathil—Kalimat kebenaran dimaksudkan untuk kebathilan”. Untuk mengenali ini, orang awam harus bertanya dan banyak bertanya kepada para ulama. Sedangkan orang yang merasa mengerti, harus banyak-banyak membaca lagi mengenai fiqih kaum wahabi ini. Ada lebih banyak pertentangan daripada apa apa yang barusaja saya tuliskan ini.

Terimakasih.

Selasa, 23 Juli 2019

Asal Muasal Beduk di Nusantara


Bedug senantiasa dikaitkan dengan media panggil peribadatan. Ada pendapat tradisi bedug dikaitkan dengan budaya China. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang Muslim itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di China. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum China yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.

Namun menurut Drs M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.

Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa.

Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya ”sudah waktu siang” yang diambil dari waktu saat tegteg dibunyikan.

Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.

Kendati demikian, pengaruh China pun tidak dinafikan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali/pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, China, atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang China Muslim di ibukota Majapahit.

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat China Muslim.

Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon, di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.

Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin Kalimanatan Selatan 1936 kembali mengukuhkan penggunaan Beduk dan kentongan, bahwa pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam. Dengan adanya keputusan itu serangan Islam modernis bisa dieliminir, dan tradisi pemakaian beduk terus dipertahankan.

Pada masa orde baru ketika organisasi NU mulai ditekan sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka ”debedukisasi” dilakukan, sehingga banyak beduk-beduk bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan. Kemudian dikembangkan program speakerisasi, sehingga hampir tiap masjid yang sudah dihilangkan beduknya diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubah. Hanya dilingkungan masjid Nu dan kelompok Islam bermazhab seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang belum diambil oleh kelompok Islam modernis tetap memakai beduk. Hal itu menadji petanda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis yang tidak bermazhab.

Taken from media indonesia

Maulana Al Habib Luthfi bin Yahya dan Kisah Sebutir Nasi



Dalam perjalanan mencari ilmu, Guru Mulia Maulana Habib Lutfi Bin Yahya-Pekalongan berjumpa dengan seorang Kiai Sepuh. Romo Habib muda terheran-heran ketika menyaksikan akhlak kiai sepuh yang luar biasa. Yakni, ketika dhahar (makan), ada butiran nasi yang terjatuh lalu dipungut dan dikembalikan ke piring untuk dimakan kembali.

“Kenapa harus diambil, Yai. Kan cuma nasi sebutir,” ujar Romo Habib muda penasaran.

“Lho, jangan dilihat sebutir nasinya, Yik. Apa kamu bisa bikin nasi sebutir ini, bahkan seper seribu menir saja?”

Deg, terdiamlah Romo Habib muda. Kiai sepuh melanjutkan, “Ketahuilah, Yik. Pada saat kita makan nasi, sesungguhnya Gusti Allah telah menyatukan banyak sekali peran. Nasi itu namanya Sego Bin Beras Bin Gabah Al Pari. Mulai dari mencangkul, menggaru, meluku, menanam benih, memupuk, menjaga hama hingga memanen ada jasa banyak sekali orang. Kemudian mengolah gabah menjadi beras, dari beras menjadi nasi juga banyak sekali peran hamba Gusti Allah di sana.”

“Ketika ada satu butir nasi, atau menir sekalipun yang jatuh, ambillah. Jangan mentang-mentang kita masih banyak cadangan nasi. Itu bentuk dari takabur, dan Gusti Allah tidak suka dengan manusia yang takabur. Selama jatuh tidak kotor dan tidak membawa mudlorot bagi kesehatan kita, ambillah, satukanlah dengan nasi lainnya, sebagai bagian dari syukur kita”.

Romo Habib muda pun menyimak lebih dalam. “Karena itulah ketika akan makan, diajarkan doa: Allahumma bariklana (Ya Allah semoga Engkau memberkati Kami). Bukan Allahumma barikli (Ya Allah semoga Engkau memberkatiKU), walaupun sedang makan sendirian.”

Baca Juga >  Mbah Kiai Malik Purwokerto dan Kisah Air Putih yang Wangi
“‘Lana’ itu maknanya untuk semuanya, mulai petani, pedagang, pengangkut, pemasak hingga penyaji semuanya termaktub dalam doa tersebut. Jadi doa tersebut, merupakan ucapan syukur serta mendoakan semua orang yang berperan dalam kehadiran nasi yang kita makan.”

“Dan satu lagi, mengapa wong makan kok ada doa: waqina ‘adzaban nar (jagalah kami dari siksa neraka). Apa hubungan, makan kok dengan neraka? Kan gak nyambung.”

“Inggih Yai. Kok bisa ya?” tanya Habib Luthfi muda, penasaran.

“Begini, Yik. Kita makan ini hanya wasilah. Yang memberi kenyang itu Gusti Allah. Kalau kita makan dan menganggap bahwa yang mengenyangkan kita adalah makanan yang kita makan, maka takutlah, itu akan menjatuhkan kita dalam kemusyrikan. Dosa terbesar bagi orang beriman.”

“Astaghfirullahal ‘adhim…” batin Romo Habib muda, tidak menyangka maknanya sedalam itu.

“Bayangkan saja, Yik. Demikian juga jika kita makan dan minum tapi tidak dijadikan hilang rasa lapar dan terhapus dahaga kita karena tidak dikendaki Gusti Allah, apalah jadinya?”



Keterangan :

Kisah diatas diambil dari dawuh beliau Al-Habib Luthfi Bin Yahya

Pekalongan, 22 Januari 2017

Juragan Digital versus Buruh digital



Menyampaikan gagasan melalui maiya merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya terutama pada era digitalisasi saat ini. Disandingkan dengan dakwah masalah ideologi merupakan kegiatan yang saling menunjang.

“Ormas yang tidak menjadikan sosial media sebagai alat atau media dalam berdakwahnya, maka siap-siap menjadi fosil sejarah" kutipan dari KH Helmy Faisal Zaini selaku Sekjen PBNU / Penasehat GMNU Pusat.

Melatar belakangi hal tersebut diatas sebagai generasi Nahdhotul Ulama yang hidup di era digitalisasi memandang perlu untuk membariskan diri dan berdiri disatu garis sehingga mufah u tuk dikondisikan.

Bertempat di rumah ketua LTN NU kab. Malang gus Ainun para perwakilan pengurus LTN NU tingkat kecamatan yang juga "ngangsu kaweruh" terhadap perkembangan dunia maya selaku jalan lain dalam menyampaikan dakwahnya.

Dengan tema ngaji digital diharapkan dapat mengembangkan dakwah melalui media yang sudah menjadi kebutuhan. "Supaya berpenghasilan Kita harus melek dunia digital agar menjadi majikan, jangan menjadi penikmat dunia digital supaya tidak menjadi buruh" timpal wartawan times Indonesia.

Ngaji digital ini dipandang perlu untuk lebih membumikan keberadaan LTN NU MWC Turen pada khususnya dan MWC kecamatan Turen di awal pertumbuhannya. Kedepan diharapkan dapat dapat menularkan ke tingkat ranting ranting yang ada di wilayah kecamatan turen.

Hal ini diharapkan juga dapat berimbas kepada ranting Pagedangan yang kebetulan mendapat kehormatan sebagai peserta yang diberi kesempatan untuk menimba pengetahuan tentang dahsyatnya digitalisasi.

Sabtu, 13 Juli 2019

MIMPI GUSDUR TENTANG ULAMA BERNAMA GUS MUWAFIQ MENJADI KENYATAAN




KETIKA Gus Dur masih menjadi Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Asy'ari menemui dalam sebuah mimpi untuk membentuk sebuah badan khusus warga NU agar bisa berperan aktif dalam arena politik praktis. Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa era Gus Dur adalah atas perintah ini.

Sebelum membentuk partai tersebut, Mbah Hasyim memerintahkan Gus Dur agar menemukan kiai bernama "KH. Ahmad Muwaffiq". PKB tidak akan kuat berdiri tanpa nama tersebut. Lama Gus Dur mencari2 nama tersebut di Yogyakarta.

Gus Dur bertanya kepada para kiai NU yg ada di Yogyakarta waktu itu, dan semua menjawab tidak mengenal nama tsb.

"Tidak ada nama kiai di Jogja bernama Ahmad Muwaffiq, Gus," kata para kiai.

"Ada, pasti ada. Mbah Hasyim yg bilang kok," jawab Gus Dur.

Terang saja mereka tidak akan menemukan sosok kiai seperti nama yg dicari Gus Dur. Nama yg kini populer dgn sebutan Gus Muwaffiq, saat itu masih menjadi aktivis mahasiswa, yg biasa bercelana jins komprang suwek2, berambut gondrong dan sangat suka berkegiatan seni musik di kampus.

"Siapa itu?"Tanya Gus Dur kepada Agus Winarto (alm) saat mengisi sebuah acara seminar di kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, suatu kali.

_"Muwaffiq"._

"Lengkapnya siapa?" Tanya Gus Dur lagi._

_"Ahmad Muwaffiq," jawab Agus, ketua panitia acara seminar.

"Oh, ini dia yang saya cari".

Usai seminar, bergegas Gus Dur mendatangi Ahmad Muwaffiq muda yg terlihat sedang sibuk membantu panitia acara. Dan tanpa dinyana, Gus Dur mencium tangannya. Saat itulah, Gus Dur meminta Ahmad Muwaffiq muda untuk berangkat ke Jakarta, dengan sebuah tiket yg sudah disediakan.

Di Jakarta, Ahmad Muwaffiq muda diminta Gus Dur agar ziarah ke Makam Syaikh Isma'il di Malaka, Malaysia, dan tirakat beberapa saat sebagaimana perintah Mbah Hasyim Asy'ari. Kata Gus Dur, hanya keturunan Syaikh Isma'il saja yg memiliki frekuensi tinggi bisa membuka "kunci tanah Jawa".

Melalui Ahmad Muwaffiq muda itulah Gus Dur ingin membuka "KUNCI TANAH JAWA" agar direstui niat membentuk partai. Ahmad Muwaffiq muda disebut2 sebagai pembukanya (wasilah) atas terbukanya "kunci" tersebut, agar berhasil menjalankan dawuh Mbah Hasyim.

Syaikh Isma'il ini dikenal para ulama'-auliya' sebagai peletak "pathok" Nusantara sehingga proses islamisasi berjalan lancar, seperti tampak hasilnya sekarang ini. Tiga bulan lamanya Ahmad Muwaffiq muda tirakat di makam simbahnya tsb, di Malaka. Sulitnya Syaikh Isma'il ditemui membuat tirakat semakin lama.

Setelah dari Malaka, Ahmad Muwaffiq muda diperintah Gus Dur untuk keliling silaturrahim ke beberapa kiai, utamanya di Jawa Timur.

Pengalaman Ahmad Muwaffiq muda menjadi aktivis di PMII digunakan semaksimal mungkin sehingga berhasil mendorong terbentuknya PKB sebagai aspiran politik partai kiai dan warga NU, dan sempat menggaet massa yg lumayan banyak hingga mengantarkan Gus Dur menjadi seorang presiden di Republik Indonesia.

Gus Muwaffiq kemudian diangkat Gus Dur menjadi syuriah PKB Provinsi Yogyakarta dengan Ketua Partainya, Agus Winarto, sahabat kampus Gus Muwaffiq di IAIN Yogyakarta. Saat Gus Dur menjadi presiden pun, Gus Muwaffiq masih nempel sebagai penderek yg sering menemani Gus Dur sebagai pendekar.

Tahun 2006, Ahmad Muwaffiq mendapatkan perintah khusus dari Gus Dur agar menggantikan beliau muter-muter ke desa, menjadi penceramah, sebagaimana Gus Dur dulu juga melakukannya. Bakat ceramah Gus Muwaffiq sudah ada sejak kuliah. Ia biasa ceramah dalam acara-acara KKN yang digelar mahasiswa dan sering mengisi PKD di PMII.

Kini, nama yg dulu dicari Gus Dur saat bertemu Mbah Hasyim di mimpi, kala itu, sudah dikenal publik dgn sebutan Gus Muwaffiq, dengan nama lengkap, KH. Ahmad Muwaffiq. Banyak santri Yakarim (santri desa) yg setia mendengerakan ceramah Gus Muwaffiq.

https://m.facebook.com/groups/1811379799080690?view=permalink&id=2329536017265063

Jumat, 12 Juli 2019

Hadlrotussyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari



KH Hasyim Asy'sri adalah pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan nasional ini merupakan salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20.

Kelahiran dan Masa Kecil
Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari l871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km. ke arah utara kota Jombang. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Al-Syeikh Maulana Ishaq  hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir hingga bersambung ke Rosululloh Muhammad SAW. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana.
Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

*Mencari Ilmu*

Pada usia 15 tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/1891 M., Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Pemuda Hasyim belajar selama 5 tahun di sana. Lalu pada usia 21 tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai Ya’qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H.

Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis.
Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga; gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Mekah.

Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim nyaris tak tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya.
Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.

Belajar Lagi di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.

Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at di sana.

Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.

Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.

Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).

Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Diantara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.

Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.

*Mendirikan Pesantren Tebuireng*
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pendidik sejati
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.

Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.

Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.

Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an. Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu asar.

Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang masghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinue dibaca setiap selesai salat asar.

Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.

Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran. Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.

Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”

*Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim*
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).

Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.

Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).

Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.

Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.

Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.

Kebiasaan lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur, beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki tidak sia-sia.

Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.

Dekat kepada Allah
Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].

Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.

Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.
***
Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qu’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]

Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.
***
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah. Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!” Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”
Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”

Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.

Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
Komite Hijaz dan Pendirian NU
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum dating juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

*Berjuang Mengusir Penjajah*
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.

Dipanggil Yang Kuasa
Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman.

Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.

Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna liLlahi wa Inna Ilayhi Raji’un.
***
Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.

Taken from MWC NU Turen