Rabu, 07 Agustus 2019

Memaknai Hari Raya Berkorban




Sebentar lagi umat Islam menyelenggarakan sebuah perayaan yang dikenal sebagai hari raya Idul Adha. Kenapa begitu pentingnya perayaan ini untuk diselenggararakan adalah salah satu alasan yang perlu kita pahami sebagai seorang muslim hakiki. Karena tanpa mengenal dan memahami esensi yang mendalam apa artinya perayaan hari raya Idul Adha bagi umat Islam akan melahirkan kedangkaalan agama, yang tentunya akan melahirkan kedangkalan dalam beragama atau kedangkalan mempraktikkan nilai-nilai dari ajaran agama.  Perayaan itu secara birokratis ditandai dengan merahnya tanggal pada waktu itu.

Kali ini hari raya Idul adha betepatan dengan tanggal 12 Agustus 2019, hari Senin. Tentunya penambahan bonus itu disambut suka cita oleh semua kalangan terutama mereka karyawan perusahaan, pegawai, guru, dosen, dan tidak ketinggalan siswa. Apa sebenarnya nilai yang terkandung di dalam perayaan Idul Adha sebenarnya dan mengapa kita perlu merayakan hari itu dan bagaimana cara melahirkan syukur atas perayaan hari raya Idul Adha  adalah sebuah deretan pertanyaan yang perlu kita ungkap pada kesempatan kali ini. Karena jika tidak, perayaan akan hanya sebatas perayaan secara pragmatis, perayaan hanya secara birokratis.

Alangkah baiknya kita menengok dan menelaah yang menjadi sumber insprasi dan motivasi adanya peringatan hari raya Idul Adha atau yang sering dikenal juga sebagai hari raya kurban. Kurban secara bahasa adalah sebuah bentuk upaya untuk melahirkan syukur atau upaya untuk memperoleh sebuah pengharagaan yang tertinggi. Korban juga terkadang menjadi prasarat untuk mendapat apresiasi atau prestasi.

Ungkapan Inggris menyebutkan no gain without pain, yang secara singkat artinya tak ada hasil tanpa adanya susah payah atau pengorbanan.
Surat AlKautsar enjadi surat yag menjadi rujukan diperintahkannya berkurban bagi umat Islam. Di dalam surat Al Kautsar, perintah berkurban ditegaskan dengan kata wanhar. Kata terdiri atas wawu dan lafadz inhar, lafadz wawu merupakan kata penghubung atau yang sering dikenal dalam terminologi nahwu adalah huruf athof sedangkan kata inhar merupakan fiil ‘amr dar bentukan kata na-ha-ra, yan-haru yang berarti berkorbanlah. Adanya huruf athaf pastinya ada ma’thuf ‘alaihi. Dengan demikian, penting kiranya kita mengeksplorasi beberapa kalam atau ayat sebelumnya untuk memahami perintah disyariatkannya berkorban bagi umat Islam ini.

Menarik bagi untuk mengeksploarsi satu per satu lafadz yang ada di dalam surat Al Kautsar. Di dalam kita Shofwatut Tafasir juz 3 halaman 587 yang dikarang oleh Muhammad Ali Ash Shabuni, ayat pertama menyiratkan bahwa Allah SWT telah telah menganugerahkan  hal yang sangat istimewa dengan kebaikan yang banyak (khoir katsir), dan nikmat nikmat yang agung baik di dunia dan di akhirat. Salah satunya dalah nahrul kautsar atau telaga kautsar.

Masih menurut Muhammad Ali Ash Shabuni, lafadz kautsar merupakan bentukan dari kata katsrah (banyak). Lafadz al-kautsar mengikuti sighat mubalaghah yang berarti kebaikan yang banyak. Penyebutan  ini merupakan tradisi yang berkembang di Arab untuk menyebut suatu barang yang banyak jumlahnya, ukurannya, dan khathr-nya.

Ayat pertama ini merupakan kalimat deklaratif yang menyebutkan bahwa Allah SWT telah memberikan kepada Nabi Muhammad (yang mewakili khitab lafaz ka)  kenikmatan-kenikmatan yang banyak, yang agung baik di dunia dan di akhirat. Kalimat deklaratif ini tujuannya untuk isyraf atau takrim yang berarti memuliakan nabi Muhammad SAW. Salah satu dari sekian kenikmatan yang diberikan oleh Allah itu adalah Al-Kautsar, yang di dalam hadits Bukhori digambarkan sebagai sungai yang ada di surga, pundak sungainya dari emas, dasar sungai beralasakan mutiara dan yaqut, baunya lebih haruma daripada minyak misik, rasanya lebih manis dari madu, warnaya lebih putih dari salju, dan keistimewaannya adalah siapa yang pernah meminum air telaga kautsar, maka dijamin ia tidak akan haus selama-lamanya.Yang menarik walaupun khitab ini hanya dialamatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebenarnya telaga ini tidak hanya diperuntukkan untuk Nabi

Muhammad, tetapi telaga ini juga diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad. Hal ini tampak dari potongan hadits  yang diriwayatkan pada Sahabat Anas : … huwa khoudhun turaddu ‘alaihi ummaty yaumal qiyaamah …. Dan satu lagi yang menarik bahwa Nabi menutup hadits dengan “innaka laa tadrii maa ahdatsa ba’daka”, sesungguhnya engkau wahai para sahabat tidak tahu apa yang diceritakan setelahnya. Hal ini menunjukkan nikmat Allah yang besar tidak dapat dideskrispiskan dengan detil dan lengkap karena begitu agungnya dan terbatasnya jangkauan indera manusia untuk menerima gambaran telaga kautsar itu.

Maka untuk melahirkan syukur atas nikmat itu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan kita selaku umat Nabi Muhammad untuk menyembahkan Allah, Tuhan yang menyerahkan segala apa yang telah diserahkan yang berupa kebaikan yang banyak dengan khalish, murni karena Allah tanpa adanya tendensi apapun. Yang kedua juga Allah memerintahkan kepada kita untuk menyembelih (unta) atau hewan adhiyyah lainnya  yang merupakan hewan pilihan dalam tradisi masyarakat Arab sebagai ungkapan syukur dan terimakasih kepada Tuhan selama ini.

Seringkali masyarakat jahiliyyah itu menyembeih unta untuk dipersembahkan kepada tuhan atau berhala mereka. Karena itulah Allah menegaskan dengan kata lirabbika, hanya untuk Tuhanmu. Artinya pengorbanan itu, penyembelihan hewan korban  itu hanyalah diniatkan semata-mata untuk menggapai ridho Allah, tak boleh ada sedikit pun embel-embel untuk dipuji atau diapresiasi orang. Dengan demikian, berkorban itu harus tulus, niat karena Allah semata, bukan karena disanjung-sanjung, bukan ingin dilabeli sebagi orang kaya, tidak berharap dikenal sebagai orang yang dermawan, dan harus menjauhkan dari kepentingan politis. Kalau hal ini terjadi, wa ‘iyaadzu billaah.

Selanjutnya adanya perintah sholat dan berkorban memiliki makna bahwa manusia tidak hanya cukup beribadah secara vertikal saja, akan tetapi beribadah harus juga digenapi dengan ibadah yang ada kaitannya atau imbasnya secara horizontal. Sholat adalah ibadah yang sangat privat antara musholli (orang yang sholat) dan Allah sebagai Al-Ma’bud.

Orang sholat atau tidak sholat juga tidak akan pernah berpengaruh secara langsung terhadap manusia lainnya karena shalat adalah urusan manusia dengan Allah semata. Berbeda dengan sholat, ibadah kurban memiliki dimensi ganda. Selain sebagai kepatuhan kita kepada Allah atas perintah ini, berkurban juga berarti membangun rasa empati kita terhadap saudara-saudara yang miskin, yang mungkin jauh dari keberuntungan social. Dengan dibagikannya hewan kurban, memungkinkan si miskin untuk bisa menikmati lezatnya daging sapi atau kambing dengan gratis.

Makna dalam yang bisa dibangun dari perintah berkorban adalah kesadaran atau kepekaan (sense) untuk berkorban, yang tentunya berkorban secara luas dan dalam domain yang lebih luas. Sikap empati yang dilahirkan dari berkorban itu semestinya selalu terpupuk dan tidak pernah hilang.

Berkorban dalam dimensi luas tidak harus menunggu setahun sekali, tetapi lebih daripada itu kepekaan kita terhadap problematika yang menghimpit tetangga-tetangga kita mendorong nurani kita untuk mengulurkan tangan dan membantu. Empati kita atas kondisi anak yatim di sekitar juga dengan ambil bagian menjadi orangtua asuh misalnya adalah bagian dari pendidikan korban. Walhasil berkorban bukanlah ritual atau momen tahunan belaka, tetapi sejatinya jiwa berkoban haruslah menjadi spirit dan motivasi hidup kita.

*)Al Faqiir adalah Ahlul Ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang, alumni PKPNU Angkatan 5 dan kini tinggal di Pagedangan Turen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar